Mungkin
memang aneh judul dari tulisan saya kali ini. Bagaimana bisa saya mencari
mutiara di Solo, padahal di Solo tidak terdapat laut. Sebenarnya, mutiara yang
saya maksud kali ini bukanlah mutiara yang asli, namun mutiara yang saya maksud
adalah pengalaman dan pengetahuan. Sebelum saya menceritakan tentang mutiara
yang saya temukan di Solo, saya akan bercerita bagaimana saya dan teman-teman
saya bisa sampai ke Solo.
Saya
memang orang Solo, sehingga sudah tidak heran lagi jika saya berada di Solo.
Namun, kali ini keberadaan saya di Solo terasa berbeda, karena saya pergi ke
Solo bersama dengan teman-teman kuliah saya yang merupakan Mahasiswa Ilmu
Komunikasi Universitas Gadjah Mada angkatan 2012. Kita melakukan perjalanan
ini, untuk menemukan mutiara yang dapat diasah dan dijual bagi masa depan
kehidupan ini. Kita bersama-sama mencari mutiara yang sangat berharga itu
dengan semangat yang menggebu-gebu, karena perjalanan ini sangat kita nikmati
dari awal hingga akhir. Kami merasa lebih senang karena perjalanan kali ini
tidak membutuhkan biaya alias gratis. Kami merasa sangat beruntung karena
kampus begitu murah hati kepada mahasiswanya yang berkeinginan menambah koleksi
mutiara mereka.
Pada
kesempatan ini, saya akan memulai cerita saya tentang mutiara-mutiara yang
berkilauan yang saya dapatkan di Solo dengan mengulas sisi lain dari kota Solo.
Pada 2 Mei 2013, hari yang indah bagi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas
Gadjah Mada angkatan 2012. Pagi itu terasa sangat indah, sinar matahari
bersinar dengan cerianya dan dibubuhi dengan senyum dan tawa dari kami. Hari
itu bertambah indah saat kami menemukan mutiara pertama yang bernama LOKANANTA.
LOKANANTA merupakan mutiara yang mungkin tampak usang, karena kurangnya
perhatian dari publik karena adanya teknologi.
LOKANANTA,
tempat yang memberikan saya pandangan lain tentang dunia permusikan di
Indonesia. Lokananta merupakan BUMN yang berada di bawah naungan Perum
Percetakan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di bidang usaha rekaman serta
penggandaan audio dan CD. LOKANANTA berdiri pada tanggal 29 Oktober 1956.
LOKANANTA memilki arti tersendiri. Arti dari LOKANANTA tersebut adalah
seperangkat gamelan di Suralaya yang dapat mengeluarkan bunyi dengan sendirinya
tanpa adanya penabuh atau orang yang memainkan gamelan tersebut. Selain itu,
LOKANANTA ternyata adalah pusat budaya di Indonesia yang menyebar luaskan
budaya itu sendiri. LOKANANTA merupakan pelopor label di Indonesia yang dahulu
merupakan satu-satunya studio rekaman di Indonesia dan anggota ASIRI pertama di
Indonesia dengan nomor 001. LOKANANTA yang merupakan badan usaha ternyata tidak
selamanya berada di posisi aman. LOKANANTA pernah mengalami pasang surut
kehidupan juga. Pada tahun 1956 sampai dengan tahun 1980 LOKANANTA mengalami
masa kejayaannya. Namun, tahun 90-an, LOKANANTA mengalami masa penurunan. Masa
tersebut dialami olehnya karena maraknya pembajakan yang terdapat di Indonesia.
Selain itu, terdapat factor lain yang menyebabkan LOKANANTA mengalami penurunan
yaitu 70 label rekaman di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Walaupun
LOKANANTA mengalami penurunan, itu tidak mengubah pikiran untuk mengubahnya
menjadi di bawah naungan swasta, karena LOKANANTA merupakan harta dari negara
ini yang patut untuk dijaga kelestariannya. LOKANANTA juga sempat mengalami
pemberhentian fungsi pada tahun 1998 sampai 2000 untuk menjaga asset sehingga pasar ditutup. Pada tahun
2001, LOKANANTA mengalami pailit sehingga ini menyebabkan pembubaran dari
LOKANANTA sendiri. Namun, pembubarannya tidak berlangsung lama, karena
LOKANANTA dianggap penting dan merupakan peninggalan sejarah di Indonesia. Pada
tahun 2004, LOKANANTA berada di bawah naungan Perum Percetakan Republik
Indonesia. LOKANANTA samapi saat ini masih mengalami masa yang belum mapan,
karena belum adanya mata anggaran dalam keuangan dari LOKANANTA itu sendiri.
Terbukti dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh para karyawan dengan menyewakan
tempat yang masih tersedia di lingkungannya seperti digunakan untuk lapangan
futsal dan digunakan sebagai rumah makan sop Pak No. Usaha-usaha itulah yang
digunakan LOKANANTA untuk mendapatkan uang. Namun, tidak hanya itu yang dilakukan
untuk mendapatkan uang, LOKANANTA juga mendapatkan perolongan dari Perum
Percetakan Republik Indonesia.
LOKANANTA
yang bergerak di bidang rekaman serta penggandaan audio dan CD menghasilkan
piringan hitam penyanyi-penyanyi senior seperti Titiek Puspa, Bing Slamet,
Waljinah dan Gesang. Namun, ternyata dahulu LOKANANTA memiliki image tempat untuk melakukan rekaman
gamelan dan music keroncong. Namun, saat ini ternyata image tersebut sudah tidak berfungsi lagi karena banyak musisi
Indonesia yang melakukan rekaman di sana, mulai dari band-band indie Indonesia hingga
penyanyi terkenal Indonesia. Musisi Indonesia saat ini yang melakukan rekaman
di LOKANANTA adalah Glenn Fredly, Efek Rumah Kaca, White Shoes and the Couples
Company dan masih banyak lagi. Ini membuktikan bahwa sudah munculnya kembali kepedulian
musisi di Indonesia terhadap LOKANANTA.
Perjalanan
dalam pencarian mutiara di Solo tidak berhenti di LOKANANTA saja. Mutiara kedua
di Solo yang akan saya bahas untguk menutup cerita di Solo adalah Monumen Pers
Nasional. Sebagai mahasiswa dan mahasiswi Ilmu Komunikasi, tentunya kehidupan pers
sangat dekat dengan kita. Monumen Pers Nasional merupakan gedung yang sarat
dengan sejarah. Pada awalnya gedung yang sekarang merupakan gedung Monumen Pers
Nasional ini adalah sebuah societeit milik kerabat Mangkunegaran yang
dibangun pada tahun 1918 dan
diperuntukkan sebagai balai pertemuan. Di gedung ini, menorehkan beberapa
sejarah yang berhubungan dengan dunia pers yang ada di Indonesia. Pada tahun
1933 di gedung ini diadakan rapat yang dipimpin RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo
yang melahirkan stasiun baru yang bernama Soloche Radio Vereeniging (SRV)
sebagi radio pertama kaum pribumi dengan semangat kebangsaan. Pada 9 Februari
1946, tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia
dan Hari Pers Nasional. Pada peringatan Dasawarsa PWI 9 Februari 1956,
tercetuslah suatu gagasan mendirikan Yayasan Museum Pers Indonesia. Gagasan ini dicetuskan oleh B.M. Diah, S.
Tahsin, Rosihan Anwar, dan lain-lain, yang akhirnya terwujud pada 22 Mei 1956.
Pada tahun 1970, di dalam Kongres Palembang munculah niat untuk menbdirikan “Museum
Pers Nasional”. Dalam peringatan seperempat abad PWI, 9 Februari 1971 Menteri
Penerangan Budiarjo, menyatakan pendirian Museum Pers Nasional di Sorakarta,
dan pada kongres di Tretes tahun 1973, nama Museum Pers Nasional dicetuskan di
Palembang, diubah menjadi Monumen Pers Nasional dan atas usul PWI Cabang
Surakarta. Dan pada akhirnya, pada tanggal 9 Februari 1978, Presiden Soeharto
meresmikan gedung societeit Sasana Soeka menjadi Monumen Pers Nasional dengan
penandatangan prasati. Saat ini Monumen Pers Nasional diputuskan bahwa Monumen
Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal
Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Monumen
Pers Nasional memiliki berbagai macam koleksi tentang sejarah pers yang ada di
Indonesia. Di dalamnya terdapat bukti-bukti terbit media dan benda bersejarah
lingkup pers dari seluruh Indonesia sejak sebelum proklamasi kemerdekaan hingga
saat ini. Sehingga, jika kita ingin menambah pengetahuan tentang kehidupan pers
yang ada di Indonesia kita dapat dating ke Monumen Pers Naional. Koleksi yang
terdapat di dalam Monumen Pers Nasional, contohnya adalah peralatan cetak
media, kamera-kamera kuno, suart-surat kabar dari jaman dahulu hingga sekarang
samapi pakaian yang digunakan oleh jurnalis bersejarah di Indonesia pun
terdapat di dalamnya. Selain itu, terdapat pula miniatur orang yang menunjukan
proses jurnalisme yang ada di Indonesia pada jaman dahulu.
Cerita
tentang perjalanan perncarian mutiara yang sangat berharga yang berupa
pengetahuan dan pengalaman pun berakhir di sini. Mutiara-mutiara di Solo ini
kita dapat gunakan sebagai bekal untuk masa depan dan tonggak semangat untuk
menjadikan dunia komunikasi lebih berkembang.