Sunday, May 5, 2013

Pencarian Segenggam Mutiara di Solo



Mungkin memang aneh judul dari tulisan saya kali ini. Bagaimana bisa saya mencari mutiara di Solo, padahal di Solo tidak terdapat laut. Sebenarnya, mutiara yang saya maksud kali ini bukanlah mutiara yang asli, namun mutiara yang saya maksud adalah pengalaman dan pengetahuan. Sebelum saya menceritakan tentang mutiara yang saya temukan di Solo, saya akan bercerita bagaimana saya dan teman-teman saya bisa sampai ke Solo.
Saya memang orang Solo, sehingga sudah tidak heran lagi jika saya berada di Solo. Namun, kali ini keberadaan saya di Solo terasa berbeda, karena saya pergi ke Solo bersama dengan teman-teman kuliah saya yang merupakan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada angkatan 2012. Kita melakukan perjalanan ini, untuk menemukan mutiara yang dapat diasah dan dijual bagi masa depan kehidupan ini. Kita bersama-sama mencari mutiara yang sangat berharga itu dengan semangat yang menggebu-gebu, karena perjalanan ini sangat kita nikmati dari awal hingga akhir. Kami merasa lebih senang karena perjalanan kali ini tidak membutuhkan biaya alias gratis. Kami merasa sangat beruntung karena kampus begitu murah hati kepada mahasiswanya yang berkeinginan menambah koleksi mutiara mereka.
Pada kesempatan ini, saya akan memulai cerita saya tentang mutiara-mutiara yang berkilauan yang saya dapatkan di Solo dengan mengulas sisi lain dari kota Solo. Pada 2 Mei 2013, hari yang indah bagi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada angkatan 2012. Pagi itu terasa sangat indah, sinar matahari bersinar dengan cerianya dan dibubuhi dengan senyum dan tawa dari kami. Hari itu bertambah indah saat kami menemukan mutiara pertama yang bernama LOKANANTA. LOKANANTA merupakan mutiara yang mungkin tampak usang, karena kurangnya perhatian dari publik karena adanya teknologi.
LOKANANTA, tempat yang memberikan saya pandangan lain tentang dunia permusikan di Indonesia. Lokananta merupakan BUMN yang berada di bawah naungan Perum Percetakan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di bidang usaha rekaman serta penggandaan audio dan CD. LOKANANTA berdiri pada tanggal 29 Oktober 1956. LOKANANTA memilki arti tersendiri. Arti dari LOKANANTA tersebut adalah seperangkat gamelan di Suralaya yang dapat mengeluarkan bunyi dengan sendirinya tanpa adanya penabuh atau orang yang memainkan gamelan tersebut. Selain itu, LOKANANTA ternyata adalah pusat budaya di Indonesia yang menyebar luaskan budaya itu sendiri. LOKANANTA merupakan pelopor label di Indonesia yang dahulu merupakan satu-satunya studio rekaman di Indonesia dan anggota ASIRI pertama di Indonesia dengan nomor 001. LOKANANTA yang merupakan badan usaha ternyata tidak selamanya berada di posisi aman. LOKANANTA pernah mengalami pasang surut kehidupan juga. Pada tahun 1956 sampai dengan tahun 1980 LOKANANTA mengalami masa kejayaannya. Namun, tahun 90-an, LOKANANTA mengalami masa penurunan. Masa tersebut dialami olehnya karena maraknya pembajakan yang terdapat di Indonesia. Selain itu, terdapat factor lain yang menyebabkan LOKANANTA mengalami penurunan yaitu 70 label rekaman di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Walaupun LOKANANTA mengalami penurunan, itu tidak mengubah pikiran untuk mengubahnya menjadi di bawah naungan swasta, karena LOKANANTA merupakan harta dari negara ini yang patut untuk dijaga kelestariannya. LOKANANTA juga sempat mengalami pemberhentian fungsi pada tahun 1998 sampai 2000 untuk menjaga asset sehingga pasar ditutup. Pada tahun 2001, LOKANANTA mengalami pailit sehingga ini menyebabkan pembubaran dari LOKANANTA sendiri. Namun, pembubarannya tidak berlangsung lama, karena LOKANANTA dianggap penting dan merupakan peninggalan sejarah di Indonesia. Pada tahun 2004, LOKANANTA berada di bawah naungan Perum Percetakan Republik Indonesia. LOKANANTA samapi saat ini masih mengalami masa yang belum mapan, karena belum adanya mata anggaran dalam keuangan dari LOKANANTA itu sendiri. Terbukti dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh para karyawan dengan menyewakan tempat yang masih tersedia di lingkungannya seperti digunakan untuk lapangan futsal dan digunakan sebagai rumah makan sop Pak No. Usaha-usaha itulah yang digunakan LOKANANTA untuk mendapatkan uang. Namun, tidak hanya itu yang dilakukan untuk mendapatkan uang, LOKANANTA juga mendapatkan perolongan dari Perum Percetakan Republik Indonesia.
LOKANANTA yang bergerak di bidang rekaman serta penggandaan audio dan CD menghasilkan piringan hitam penyanyi-penyanyi senior seperti Titiek Puspa, Bing Slamet, Waljinah dan Gesang. Namun, ternyata dahulu LOKANANTA memiliki image tempat untuk melakukan rekaman gamelan dan music keroncong. Namun, saat ini ternyata image tersebut sudah tidak berfungsi lagi karena banyak musisi Indonesia yang melakukan rekaman di sana, mulai dari band-band indie Indonesia hingga penyanyi terkenal Indonesia. Musisi Indonesia saat ini yang melakukan rekaman di LOKANANTA adalah Glenn Fredly, Efek Rumah Kaca, White Shoes and the Couples Company dan masih banyak lagi. Ini membuktikan bahwa sudah munculnya kembali kepedulian musisi di Indonesia terhadap LOKANANTA.
Perjalanan dalam pencarian mutiara di Solo tidak berhenti di LOKANANTA saja. Mutiara kedua di Solo yang akan saya bahas untguk menutup cerita di Solo adalah Monumen Pers Nasional. Sebagai mahasiswa dan mahasiswi Ilmu Komunikasi, tentunya kehidupan pers sangat dekat dengan kita. Monumen Pers Nasional merupakan gedung yang sarat dengan sejarah. Pada awalnya gedung yang sekarang merupakan gedung Monumen Pers Nasional ini adalah sebuah societeit milik kerabat Mangkunegaran yang dibangun  pada tahun 1918 dan diperuntukkan sebagai balai pertemuan. Di gedung ini, menorehkan beberapa sejarah yang berhubungan dengan dunia pers yang ada di Indonesia. Pada tahun 1933 di gedung ini diadakan rapat yang dipimpin RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo yang melahirkan stasiun baru yang bernama Soloche Radio Vereeniging (SRV) sebagi radio pertama kaum pribumi dengan semangat kebangsaan. Pada 9 Februari 1946, tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional. Pada peringatan Dasawarsa PWI 9 Februari 1956, tercetuslah suatu gagasan mendirikan Yayasan Museum Pers Indonesia.  Gagasan ini dicetuskan oleh B.M. Diah, S. Tahsin, Rosihan Anwar, dan lain-lain, yang akhirnya terwujud pada 22 Mei 1956. Pada tahun 1970, di dalam Kongres Palembang munculah niat untuk menbdirikan “Museum Pers Nasional”. Dalam peringatan seperempat abad PWI, 9 Februari 1971 Menteri Penerangan Budiarjo, menyatakan pendirian Museum Pers Nasional di Sorakarta, dan pada kongres di Tretes tahun 1973, nama Museum Pers Nasional dicetuskan di Palembang, diubah menjadi Monumen Pers Nasional dan atas usul PWI Cabang Surakarta. Dan pada akhirnya, pada tanggal 9 Februari 1978, Presiden Soeharto meresmikan gedung societeit Sasana Soeka menjadi Monumen Pers Nasional dengan penandatangan prasati. Saat ini Monumen Pers Nasional diputuskan bahwa Monumen Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Monumen Pers Nasional memiliki berbagai macam koleksi tentang sejarah pers yang ada di Indonesia. Di dalamnya terdapat bukti-bukti terbit media dan benda bersejarah lingkup pers dari seluruh Indonesia sejak sebelum proklamasi kemerdekaan hingga saat ini. Sehingga, jika kita ingin menambah pengetahuan tentang kehidupan pers yang ada di Indonesia kita dapat dating ke Monumen Pers Naional. Koleksi yang terdapat di dalam Monumen Pers Nasional, contohnya adalah peralatan cetak media, kamera-kamera kuno, suart-surat kabar dari jaman dahulu hingga sekarang samapi pakaian yang digunakan oleh jurnalis bersejarah di Indonesia pun terdapat di dalamnya. Selain itu, terdapat pula miniatur orang yang menunjukan proses jurnalisme yang ada di Indonesia pada jaman dahulu.
Cerita tentang perjalanan perncarian mutiara yang sangat berharga yang berupa pengetahuan dan pengalaman pun berakhir di sini. Mutiara-mutiara di Solo ini kita dapat gunakan sebagai bekal untuk masa depan dan tonggak semangat untuk menjadikan dunia komunikasi lebih berkembang.